Jakarta – Penjualan mobil nasional berhasil cetak peningkatan di bulan Februari 2025, sebesar 16,73% atau 10.363 unit menjadi 72.295 unit dibandingkan Januari 2024 yang sebanyak 61.932 unit. Jika dibandingkan penjualan bulan Februari 2024, terjadi kenaikan 1.523 unit atau 2,15%.
Hanya saja, secara total 2 bulan pertama tahun 2025, penjualan mobil nasional mencapai 134.227 unit, lebih rendah dibandingkan pencapaian Januari-Februari 2024 yang tercatat 140.530 unit. Artinya ada penurunan sebanyak 6.303 unit atau 4,48%.
Sebelumnya muncul kekhawatiran penjualan mobil nasional tahun ini tidak akan lebih baik dari tahun 2024 dan masih akan di bawah 1 juta unit. Tercatat, penjualan mobil nasional tahun 2024 hanya 865.723 unit secara wholesale, jauh lebih kecil dibanding 2023 yang tercatat sebanyak 1.005.802 unit. Artinya ada penurunan sebesar 140.079 unit atau 13,9%. Dan secara ritel, anjlok 10,9% atau 108.379 unit dari 998.059 unit di 2023 menjadi 889.680 unit sepanjang tahun 2024.
“Ya kita sih berharap ngga lebih jelek dari tahun kemarin ya. Intinya itu. Tapi kan kita dibayangi oleh NPL gitu loh. Sebenarnya balik lagi ke situ, bagaimana memperbaiki struktur ekonomi, khususnya mereka yang ada di middle class (kelas menengah),” kata Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing (TMMIN) Bob Azam kepada CNBC Indonesia, Kamis (20/3/2025).
Ia menilai penjualan bisa kembali naik jika ada relaksasi seperti Covid lalu, di mana ada relaksasi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk mobil di bawah 1.500 cc. Hasilnya, mobil seperti Avanza dan sejenis didiskon hingga Rp 20-30 jutaan.
“Jadi ya kalau bisa dikasih relaksasi lah karena pengalaman kita waktu Covid, begitu pemerintah kasih relaksasi, penjualan naik, revenue pemerintah naik,” kata Bob.
“Ya seperti Covid yang lalu kan sebenarnya langsung. Terutama kan mereka-mereka yang ada di bawah gitu lho, yang masih bayar PPnBM, LCGC masih bayar PPnBM. Tapi yang mewah-mewah ada yang nggak bayar PPnBM. Ya nggak tau lah. Nah itu kan gimana ya. Kita juga harus mempertimbangkan mereka yang di bawah, jangan yang di bawah itu dibebani juga oleh penurunan emisi dan lain sebagainya,” tambahnya.
Jadi sebaiknya pemerintah mencari bidang-bidang mana yang ketika diberikan insentif justru akan memberikan revenue yang lebih bagus. Jadi tidak selalu penurunan pajak berakhir dengan penurunan revenue. Begitu juga sebaliknya. Peningkatan pajak tidak selalu berakhir dengan peningkatan revenue.
Karenanya perlu dipelajari bidang-bidang mana yang bakal memberikan revenue serta akan kembali dalam berapa lama. Ya mungkin ada yang 6 bulan, ada yang 1 tahun, bahkan ada yang 3 tahun.
“Jadi ada contohnya misalnya di Nagoya dulu pernah pemerintahnya itu memberikan relaksasi dan baru balik setelah 3 tahun. Tapi rebound yang penting. Kita harus punya proyeksi kira-kira rebound dalam berapa tahun. Nah selama berapa tahun itu suffer, apa saja yang harus kita lakukan. Ya kan? At least ada kejelasan. Yang repot kan kalau kita nggak jelas terus kita bertahan terus, terus ini memburuk, memburuk, lebih bahaya,” sebutnya. (*)