Gedung dengan kawat berduri, disebut sebagai tempat disekapnya para pekerja korban perdagangan manusia di kota Sihanoukville, Kamboja (Foto: Reuters/Cindy Liu)
Berandamanado.com, Jakarta – Jantungnya terus berdegup kencang selama 4 jam perjalanan yang menegangkan dari kota Bavet menuju Phnom Penh di Kamboja. Slamet—bukan nama sebenarnya—baru saja kabur dari sarang judi online tempat dia bekerja selama 3 bulan pada 2023 lalu.
Slamet adalah satu warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Kamboja.
Meski peristiwa itu sudah terjadi dua tahun lalu, namun dia masih bergidik setiap kali mengingatnya. Dalam perbincangan dengan CNA, dia meminta tidak disebutkan nama aslinya karena takut.
“Saya takut dia (bosnya di Kamboja) masih mencari saya,” kata dia.
Saat kabur, Slamet yang kini berusia 27 tahun hanya membawa dompet, handphone dan charger dalam perjalanan menuju Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di ibu kota Kamboja yang terpaut jarak 160km dari Bavet.
Dia berhasil kabur setelah izin keluar untuk merokok, lalu mencegat taksi dan meminta sopir segera tancap gas. Handphone dia matikan.
“Saya terpaksa mencuri dari perusahaan untuk membiayai perjalanan pulang,” kata pria asal Jawa Timur ini dalam percakapan telepon kepada CNA.
Slamet ditipu oleh seorang perekrut yang ditemuinya di kota Malang, Jawa Timur. Dia mengaku tergiur dengan iming-iming gaji Rp15 juta per bulan, ditambah uang makan US$200, untuk bekerja di sebuah pabrik di Vietnam. Lagi pula, saat itu dia sedang menganggur.
Tapi alih-alih bekerja di Vietnam, Slamet malah dikirim ke sebuah apartemen di kota Bavet, Kamboja, untuk menjadi admin situs judi online pada Januari 2023.
“Saya cuma digaji Rp4 juta per bulan, kerjanya lebih dari 12 jam sehari, kantornya dijaga oleh orang bersenjata dan anjing pelacak,” kata Slamet.
Di tempat itu, Slamet bertugas mengatur keluar masuk uang hasil transaksi para pemain judi online di Indonesia. Untuk ongkos perjalanan kabur, dia terpaksa mencuri uang perusahaan yang telah menipunya.
“Saya tahu password dan pin bank-bank perusahaan. Saya transfer uang mereka ke rekening saya, sekitar Rp30 juta. Kalau tidak begini, saya tidak bisa pulang,” kata Slamet yang mengaku masih sering menerima teror dari bosnya di Kamboja.
Slamet adalah satu dari banyak pekerja WNI yang mengalami masalah di Kamboja. Sebagian dari mereka masuk dalam kategori korban TPPO, dipaksa bekerja di sektor judi online atau penipuan online (online scamming). Di tempat tersebut, mereka mengalami penyiksaan fisik dan mental.
Perputaran uang judi online 2024 mencapai Rp283 triliun Arina Widda Faradis, staf divisi bantuan hukum pekerja migran di lembaga advokasi Migrant Care di Jakarta mengatakan mereka mendapatkan beberapa laporan adanya penyiksaan terhadap WNI selama bekerja di Kamboja.
“Penyiksaannya beragam, ada yang diborgol, disetrum, dipukul. Kebanyakan penyebabnya juga beragam, misalnya tidak mencapai target, ketahuan melapor, dan lainnya,” kata Arina saat dihubungi CNA.
Hal ini diakui juga oleh Slamet. Dia mengatakan, perusahaan judi online di Kamboja tidak segan-segan menyetrum karyawan yang tidak becus dalam bekerja dengan pistol listrik atau taser.
“Teman saya cerita dia pernah disetrum karena tidak juga menguasai pekerjaan setelah satu minggu training. Kalau seminggu lagi tidak bisa juga, dia diancam disetrum lagi,” kata Slamet.
“Kalau setelah 1 bulan tidak bisa juga, dia akan dijual ke Myanmar. Kalau sudah di Myanmar, entah bagaimana nasibnya.”
Soal hukuman setrum ini juga diakui oleh para WNI korban TPPO lainnya. Dalam dokumen laporan KBRI Phnom Penh yang diterima CNA, seorang WNI berinisial DS mengaku diancam setrum atau dijual ke perusahaan lain jika tidak bisa bekerja.
DS berada di Kamboja pada 2022 dan telah dijual ke beberapa perusahaan online scamming oleh perekrutnya, seorang WNI yang berdomisi di kota Chrey Thum.
DS berhasil lolos dari jerat TPPO setelah kepolisian Kamboja melakukan razia besar-besaran terhadap perusahaan judi dan online scamming .
Pria asal Majalengka ini akhirnya dipulangkan ke Indonesia pada Maret 2023 dalam proses deportasi karena visanya habis masa berlaku atau overstayer dan tidak mampu membayar denda sebesar USD1.830.
Beberapa kasus TPPO di Kamboja juga menjadi viral setelah para WNI menyebarkan video permintaan tolong di media sosial.
Akhir Desember 2024 tersebar video seorang pria yang mengaku bernama Agung Haryadi, usia 25 tahun asal Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.
Agung dalam video itu meminta pertolongan karena dia disekap di Kamboja. Dia juga memperlihatkan kamar tempatnya disekap, sebuah ruangan kecil dengan tiga buah kasur tipis di atas lantai.
“Saya ditekan, tidak dikasih makan, kerja paksa,” kata Agung yang mengaku hanya diberi sebotol air minum di kamar itu.
Ibu Agung, Dessi, kepada Detik pada 27 Desember lalu mengatakan putranya ditawari bekerja di perusahaan kelapa sawit di Malaysia dengan gaji Rp20 juta per bulan. Tapi bukannya ke Malaysia, dia malah dibawa ke Thailand lalu ke Kamboja, tepatnya di kota Poipet.
Judha mengatakan KBRI telah berhasil menghubungi Agung dan tengah melakukan pendalaman informasi.
“Apabila telah didapatkan informasi yang diperlukan, KBRI Phnom Penh kemudian akan berkoordinasi dengan otoritas penegakan hukum Kamboja untuk penanganan lebih lanjut,” kata Judha, Kamis pekan lalu (2/1).
Pendalaman informasi perlu dilakukan karena tidak semua WNI bermasalah di Kamboja adalah korban TPPO. Catatan KBRI Phnom Penh menunjukkan bahwa pada tahun 2024 hingga September, ada 2.321 kasus WNI bermasalah (WNIB) yang mereka tangani, naik 122 persen dari periode sebelumnya yaitu 1.386 kasus.
Namun dari penelusuran KBRI Phnom Penh, dari kasus 2024 hanya tiga WNI yang terbukti adalah korban TPPO. Sementara pada 2023, ada 39 WNI yang terindikasi korban TPPO dan pada 2022 ada 425 WNI.
KBRI mencatat WNI bermasalah kebanyakan terkait isu ketenagakerjaan.
“Assessment pihak berwenang Kamboja atas kasus-kasus WNIB menunjukkan bahwa kebanyakan terkait dengan isu ketenagakerjaan seperti besaran gaji, jam kerja, waktu istirahat, cuti, dan lainnya,” ujar KBRI Phnom Penh kepada CNA.
Menurut Undang-undang RI No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, sebuah kasus disebut TPPO jika adanya perekrutan seseorang dengan ancaman kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, atau penjeratan utang, di dalam atau luar negeri, untuk tujuan eksploitasi.
Dalam sebuah acara diskusi di Jakarta pada 13 Desember lalu, Judha mengatakan bahwa banyak WNI bekerja secara sadar dan atas kemauan sendiri di perusahaan judi dan online scamming sehingga tidak masuk kategori korban TPPO.
“Jadi sangat kompleks, untuk itu negara harus mampu mengidentifikasi mana yang korban TPPO dan mana yang bukan korban,” kata Judha seperti dikutip dari Tempo.
Data KBRI mencatat WNI di Kamboja per Oktober 2024 berjumlah 139.693 orang, naik 34 persen dari periode sebelumnya. Data Juni 2024 menunjukkan 58 persen WNI di Kamboja mengaku bekerja di industri atau bisnis online.
“Tidak sedikit WNI yang sudah tahu sejak awal (sedari di Indonesia) akan melakukan pekerjaan atau kegiatan penipuan online/scam online,” ujar pernyataan KBRI kepada CNA.
Negara-negara Asia Tenggara dalam beberapa tahun terakhir memang tengah menjadi sorotan dalam kasus TPPO.
Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) pada 2023 menyebutkan ada ratusan ribu orang di Asia Tenggara yang dipaksa melakukan tindak kriminal (forced criminality) seperti judi online atau penipuan investasi.
Sumber OHCHR menyebutkan, korban TPPO terbanyak terdapat di Myanmar sebanyak 120.000 orang dan Kamboja sekitar 100.000 orang. OHCHR juga menemukan adanya kasus di Laos, Filipina dan Thailand.
“Setiap tahunnya, bisnis penipuan ini menghasilkan keuntungan miliar dolar Amerika,” tulis OHCHR.
Pemerintah Kamboja membantah temuan OHCRH tersebut dengan menyebutnya “tidak berdasar”.
Perjudian memang legal di Kamboja, ditandai dengan menjamurnya kasino milik investor asal China, terutama di kota Sihanoukville. Namun hanya turis dan warga asing yang boleh berjudi di tempat itu. Warga Kamboja yang melanggar aturan berjudi terancam hukuman penjara dan denda.
Setelah ramai keluhan soal maraknya penipuan online dari Kamboja, pemerintah Phnom Penh akhirnya pada 2019 mengeluarkan larangan perusahaan judi online di negara mereka.
Pada September 2022, Kamboja melakukan razia besar-besaran terhadap perusahaan-perusahaan judi online dan online scamming, menangkapi ribuan orang dan mendeportasi mereka.
Namun, sejumlah laporan media menyebutkan bahwa banyak situs judi online masih terus beroperasi di Kamboja meskipun telah dinyatakan ilegal
Voice of America (VoA) pada Maret 2024 mewawancara korban TPPO di Kamboja asal Taiwan bernama samaran ‘Michael’. Dia mengatakan razia polisi Kamboja pada 2022 hanya membuat perusahaan-perusahaan judi online pindah tempat operasi.
Sebelumnya perusahaan penipuan online tempat Michael bekerja ada di Sihanoukville, namun setelah razia mereka pindah ke kota O’Smach dekat perbatasan Thailand. Perusahaannya sempat pindah tiga kali sebelum kembali lagi ke Sihanoukville pada 2023.
Dia mengatakan, dalam satu gedung tempat perusahaan penipuan dan judi online bisa mencakup hingga 800 orang, terdiri dari para pekerja dari China, Indonesia, Korea Selatan dan Jepang.
Michael berhasil kabur pada Juli 2023. Kepada VoA, dia mengaku dipukuli, disekap dalam ruang gelap atau disetrum dengan baton listrik selama bekerja di Kamboja.
Wahyu Susilo, Direktur Migrant Care Indonesia, mengutip laporan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat yang mengatakan bahwa Kamboja dan Myanmar berada di Tier 3 dalam negara rentan TPPO karena pemerintahnya dianggap gagal mengatasinya.
“Lokasi terbesar perdagangan orang terjadi di wilayah Mekong – Kamboja, Myanmar dan Laos – karena pemerintah dan penegak hukum tidak melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan,” kata Wahyu kepada CNA.
Wahyu juga mencermati adanya perubahan pola TPPO yang terjadi belakangan ini.
Dulu kebanyakan korbannya adalah perempuan dari kalangan kelompok ekonomi dan pendidikan yang rendah, diperjualbelikan untuk bekerja di sektor rumah tangga terutama di negara-negara Timur Tengah. Saat ini, korban TPPO terbanyak adalah anak-anak muda berpendidikan tinggi yang hidup berkecukupan.
Kondisi ini, kata dia, dimulai ketika terjadi pandemi COVID-19 saat banyak orang kehilangan pekerjaan.
“Sindikat TPPO ini tidak hanya merekrut anak-anak muda dari Indonesia, tetapi juga dari negara-negara Asia lainnya untuk dipekerjakan di Kamboja, Laos dan Myanmar,” kata Wahyu.
Catatan Migrant Care menunjukkan Kamboja adalah negara terbanyak dikirimnya korban TPPO asal Indonesia untuk bekerja di sektor penipuan dan judi online, disusul oleh Malaysia, Myanmar, Laos dan Filipina.
Salah satu modus perekrut adalah mengimingi para korban untuk kerja di sektor startup sebagai programmer di sektor industri teknologi digital, kata Wahyu. Tapi pada kenyataannya, mereka dijebloskan bekerja di bisnis haram.
Laporan KBRI Phnom Penh menyebutkan anak-anak muda ini dijanjikan bekerja di luar negeri dengan persyaratan yang rendah, atau bahkan tidak ada sama sekali.
Mereka direkrut di media sosial, atau diajak bekerja oleh para perekrut yang dikenal baik, seperti tetangga, teman bahkan keluarga.
Hal inilah yang menimpa Slamet, seorang sarjana S1 manajemen yang pernah bekerja di salah satu bank di Jawa Timur. Dia dihampiri seorang perekrut di sebuah warung kopi.
“Ketika didatangi perekrut itu, saya sudah menganggur empat bulan setelah diputus kontrak di sebuah perusahaan perbankan,” kata Slamet kepada CNA.
Selain perekrutan langsung, WNI banyak yang terjaring TPPO karena tergiur tawaran bekerja melalui media sosial.
Kondisi inilah yang membuat Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah menyebut Indonesia saat ini darurat TPPO. Menurut Anis, tingkat kerentanan WNI menjadi korban TPPO semakin tinggi akibat perubahan pola penjaringan korban dengan teknologi internet.
Anis mengatakan literasi digital di negara ini belum terlalu baik, sehingga banyak yang tertipu tawaran bekerja di luar negeri dari media sosial.
“Dulu itu korbannya adalah lulusan SD atau SMP. Sekarang banyak sekali yang menjadi korban lulusan S1 atau S2. Bahkan ada yang pernah dipulangkan oleh Kemlu adalah seorang influencer,” kata Anis kepada CNA.
ASEAN sendiri pernah mengeluarkan ‘Deklarasi Pemberantasan TPPO yang disebabkan oleh Penyalahgunaan Teknologi’ pada 2023 ketika Indonesia menjadi ketuanya. Deklarasi ini dikeluarkan menyusul keprihatinan banyaknya TPPO di Asia Tenggara, termasuk perdagangan anak dan kerja paksa di sektor penipuan dan judi online.
“Tapi modalitas ASEAN ini hanya menjadi ‘macan kertas’ dan tidak menjadi dasar bagi pembentukan kebijakan di negara-negara ASEAN terkait perlindungan terhadap pekerja migran dan pencegahan TPPO,” kata Wahyu dari Migrant Care.
(Denny Armandhanu)